Jumat, 27 Januari 2012

seni tari jaipongan


Tari ini diciptakan oleh seorang seniman asal BandungGugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk TiluKliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoranatau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaanpencugannibakeun dan beberapa ragam gerak minciddari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaan Priangan misalnya, pada masyarakat elite, tari pergaulan dipengaruhi dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat, tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebabkendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (KarawangBekasi,PurwakartaIndramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

wayang golek


Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.

seni sunda bajidoran


Bajidoran adalah bentuk kesenian rakyat yang tumbuh dan berkembang di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa Barat, khususnya di daerah Subang dan Karawang. Musik pengiringnya adalah seperangkat gamelan yang pada umumnya menggunakan laras salendro, sering dipentaskan oleh penyelenggara atau biasa disebut pamangku hajat, mengiringi pesta syukuran inisiasi (kelahiran bayi, khitanan, perkawinan), atau acara syukuran lainnya yang berkaitan dengan upacara-upacara ritual (hajat bumi, panen, menyambut datangnya hujan, bersih desa, dan lain-lain).

Daya tarik kesenian ini ada pada sosok sinden atau ronggeng yang digandrungi oleh para bajidor; istilah bagi orang yang gemar menari atau ngibing di pakalangan (arena pertunjukan), memesan lagu, serta memberi uang saweran. Oleh karena itu, keseniannya pun diberi nama Kliningan Bajidoran atau Bajidoran saja; sedangkan kata kerjanya menjadi ngabajidor.

Kata bajidor itu, terutama di daerah Subang, secara sinis populer dengan akronim dari barisan jiwa doraka (barisan jiwa durhaka), menunjuk pada perilaku para penggemar Kliningan Bajidoran yang cenderung menghalalkan segala cara di arena pertunjukan, mulai dari menghamburkan uang saweran, menenggak minuman keras, hingga merayu serta mengekspresikan hasrat seksual kepada sinden atau ronggeng. Konon, istilah bajidor datang dari H. Hilman (alm), mantan Lurah Pagaden, yang pada zamannya terkenal sebagai penggemar fanatik Kliningan Bajidoran dan kemudian mempersunting sinden kenamaan pada zamannya, Cucun Cunayah. Akronim bajidor yang lain dan tak kalah sinisnya adalah abah haji ngador (abah haji keluyuran), karena banyaknya bajidor yang bergelar haji. Sedangkan menurut tokoh rekaman lagu Sunda, Tan Deseng, bajidor itu akronim dari beberapa kesenian rakyat, yaitu banjet, tanji, dan bodor.

Dalam praktiknya, sinden atau ronggeng sangat piawai menggoda dan merayu bajidor agar mau menghamburkan uangnya. Mereka akan merayu dengan cara menyebut-nyebut nama bajidor di sela-sela alunan lagu yang didendangkannya, atau merayu dengan bahasa tubuhnya yang diekspresikan melalui gerakan-gerakan tarian, senyuman, tatapan mata, sentuhan tangan, serta perilaku-perilaku lainnya. Melalui cara-cara itulah seorang bajidor akan terus melakukan saweran hingga uangnya terkuras habis.

Intensitas hadir di panggung pertunjukan dan memberi uang saweran, telah menciptakan pola interaksi yang khas antara bajidor dengan sinden atau ronggeng. Biasanya, bajidor akan memberi uang saweran dengan berbagai motivasi, mulai dari motivasi harga diri karena namanya disebut-sebut oleh sinden, ingin dipandang mampu secara ekonomi, ingin mendapat pujian, hingga orientasi hasrat seksual dan menguasai sinden atau ronggeng. Pada taraf ini, bajidor datang ke arena pertunjukan Kliningan Bajidoran karena ditopang oleh kesetiaan kepada sinden atau ronggeng idolanya yang dalam istilah mereka disebut "langganan". Inilah yang melandasi adanya hubungan yang lebih jauh di antara mereka, dan pada akhirnya tidak sedikit bajidor yang tergila-gila kemudian menikah dengan sinden atau ronggeng, bahkan bisa sampai melupakan anak dan istrinya.

Memerhatikan bagaimana seorang bajidor melakukan saweran kepada sinden yang dipilih melebihi sekadar memberikan lembar demi lembar uang ribuan, ekspresi di wajahnya memancarkan gelombang birahi dan kerinduan yang sangat dalam kepada sinden pujaan. Sementara itu, sang sinden pun membalasnya dengan senyum dan tatapan yang dimaknai secara liar oleh sang bajidor, sehingga menstimulasinya untuk terus merogoh isi kantung. Saweran adalah interaksi sinden atau ronggeng dengan bajidor yang memiliki simbol-simbol makna tertentu yang menunjukkan tingkat kedalaman hubungan antara sinden/ronggeng dengan bajidor.

Eksistensi Kliningan Bajidoran itu sendiri disangga oleh tiga kelompok sosial pendukung, yaitu sinden/ronggeng yang menjadi daya pikat pertunjukan; bajidor sebagai penonton yang akan memberi uang saweran, dan pamangku hajat sebagai penyelenggara pertunjukan yang menfasilitasi adanya interaksi antara sinden/ronggeng dengan bajidor.